Senin, 21 November 2016

Cerpen - Sandiwara Pelangi

Haloo..ini cerpenku yang ke sekian.. meskipun belum banyak dan masih latihan, aku aplod aja deh seadanya. syukur-syukur ada yang komen kekurangannya.hehe di tunggu yaa para readers.. hehe

Sandiwara Pelangi
Tatimatus Solihah
Ciamis, 15 Oktober 2014.
Jika kau bersikeras untuk pergi, aku tak akan lagi memintamu untuk kembali. Silakan saja kau pergi bersama jalanmu. Jangan hiraukan semua yang telah kukatakan padamu. Pelangi yang bisa kita tunggu selepas hujan, kuharap masih bisa kulihat lagi. Walaupun teman hidupku akan pergi jauh dan meninggalkanku.
Sebuah jejak yang telah berlalu tak perlu kau ingat. Langkahku akan terhapus seiring berjalannya waktu. Tertimbun oleh dedaunan kering bahkan mungkin setiap memori yang pernah terlukispun tak akan pernah kembali diputar oleh takdir.
Kekecewaanku telah cukup membuat semua warna pelangi melebur dan berubah menjadi kilat dan halilintar yang menggelegar. Berhentilah wahai nafas. Aku menyerah, dan aku kalah.
“Kenangan Semu bersama Sandiwara Pelangi”
Aku tak bisa untuk diam. Inilah caraku mengungkapkan segala perasaan. Dalam secarcik kertas buram, kutuliskan rasa yang perlahan menjelma sebagai sebuah penyesalan.
***
"Apa salahku?"
Kalimat terakhir dalam surat itu membukakan pikiranku yang sempat tertutupi kabut kebencian. Pertanyaan itu menusuk jantungku hingga dalamnya tak dapat terhitung dengan hitungan jarak. Kenangan tempo dulu telah kusimpan rapat-rapat dan aku telah berjanji untuk tak membukanya lagi. Namun hari ini dirinya menanyakan hal yang paling tak kusukai. "apa salahku?". 
"Sayang sekali, bukan itu yang aku harapkan darimu sekarang ini. Caramu kembali hanya membuatku semakin ingin menjauh. Pertanyaan itu tak akan pernah kujawab. Biarkan waktu yang akan membuatmu mengerti betapa rapuhnya aku saat kau tinggalkan langit malam terakhir denganmu tanpa senyuman".
***

Selepas sarapan, aku langsung mengambil sepatu yang biasa ku simpan dalam rak di teras rumah. Udara diluar masih sejuk. Dedaunan dari pohon rindang yang menutupi bagian depan rumahpun masih berselimutkan embun. Halaman depan rumah masih indah dengan tata letak yang kubereskan kemarin sore. Kolam ikan dibawah pohon rindang itu menjadikan ikan-ikan yang hidup didalamnya semakin bersemangat untuk beraktivitas selayaknya ikan dilaut. Aku memberika sedikit pelet sebagai sarapan pagi mereka. 
"Heii.. Jangan berebut" kataku sambil menaburkan pakan ikan.
"Tiiiiiiiitttt.." suara klakson sepeda motor temanku berbunyi.
"Nano, kau mengagetkanku saja", kataku.
"Sorry, aku terlalu bersemangat untuk lari pagi ini. Kemana schedule kita pagi ini?"
"Hari ini kau saja lah yang menentukan. Aku ikut saja denganmu. Lagian aku bosan kalau ke taman lagi-taman lagi"
"Oke, kita pergi ke tempat yang berbeda. Aku dapat rekomendasi tempat ini dari teman lamaku. Semoga tak mengecewakan ya, Sa"
"Baiklah. Aku pakai sepatuku dulu."
"..."
***
Aku dan Nano menghabiskan waktu pagi dengan cukup lama. Nano membawaku pergi ke tempat yang memang berbeda dari tempat biasanya. Namun aku sudah tak asing lagi dengan tempat ini. Terakhir kali aku ke sini adalah enam bulan yang lalu. Tempat ini cukup jadi kenanganku saja. Aku tak akan menceritakan apapun pada Nano mengenai tempat ini. Biarlah aku kubur kenangan lalu itu dan menikmati hidup dengan lebih bermakna bersama sahabat-sahabatku. 
"Heksa!!!"
Nano memangilku sambil melambaikan tangan. Aku melihatnya tak lagi sendiri. Ia membawa seorang gadis kecil yang tak kukenal.
"Siapa ini? Anak orang kau bawa kesini?" tanyaku saat ia tiba didepanku.
"Sembarangan kau. Perkenalkan, ini keponakanku dari banten. Tiap
liburan semester dia selalu ke sini. Namanya Tri."
"Hallo, Om."
Gadis itu menyodorkan tangannya kearahku dan akupun menjawab salamnya.
"Hallo cantik, namaku Heksa. Kamu sudah sarapan?"
"Sudah, Om" jawabmnya malu-malu.
Melihat anak seusia Tri, aku semakin merasakan kehilangan yang sangat mendalam pada diriku. Aku adalah anak tunggal. Di rumah aku hanya tinggal bersama bapak dan Mbok Darmini, asisten rumah tangga kami. Sudah dua puluh tahun lamanya kami tinggal bersama. Akupun tak pernah merasakan kehilangan sedalam ini. Namun beberapa bulan yang lalu aku pernah mendengar Mbok Darmini menceritakan sesuatu pada bapak. Pembicaraan itu tentang anak perempuan yang dilahirkan dari seorang ibu tetapi kemudian ibu itu tidak selamat saat melahiran anaknya. Jadi setiap aku melihat anak perempuan yang ditinggal ibunya aku merasa iba. Dan akupun telah ditinggal oleh ibu sejak kecil. Aku harap para ibu tak meninggalkan putra dan putrinya bagimanapun kedaannya kecuali ajallah yang menjemputnya.
 
Saat aku melihat candaan Nano bersama dengan Tri, aku merasa bahagia. Usiaku dan Nano memang sudah layak untuk menikah dan memiliki anak, namun takdir belum berpihak pada kami. 
***

"Heksa, si mbok sudah membuatkanmu makan malam. Seharian kamu pergi sampai lupa waktu pulang." Bapak memanggilku dari ruang tamu.
"Iya, Pak." jawabku sambil melepaskan sepatu.
Rembulan menampakan sinarnya, bintang kerlap-kerlip menunjukan keberadaannya mencoba menyadarkanku dari lamunan tak berguna.
Kotak surat depan rumah belum kulihat. Biasanya setiap tiga hari sekali ada surat masuk. Entah itu untuk bapak ataupun untukku. Desaku jauh dari hiruk-pikuk kota, bahkan bisa dibilang desaku adalah desa terpencil. Di desaku ini yang memiliki kendaraanpun dapat dihitung. Nano salah satunya. Aku orang biasa, bapakku bukan pekerja yang gajinya sejuta dalam sebulan. Kami hidup di desa yang mayoritas pekerjaannya adalah buruh tani. Bapak sering mendapatkan surat dari temannnya di kota. Kadang ia pun ingin pergi ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan, namun aku melarangnya karena bapak sering sakit-sakitan semenjak ibu meninggal.
"Hari ini tak ada surat. Syukurlah tak ada lagi yang mengganggu pikiranku"
"Kata siapa?" Bapak menyahut dari pintu. Aku berjalan santai menghampiri bapak.
"Ini ada surat untukmu dari.." Ayah membolak-balikan amplop surat putih bergaris.
"Dari siapa, Pak?"
"Bapak tidak melihat ada pengirimnya. Suratnya belum bapak buka. Tadi bapak mengambilnya jam 5 sore"
"Mungkin itu surat untuk Bapak?"
"Tidak, Nak. Teman-teman bapak pasti menulis nama pengirimnya di depan amplop surat ini. Mungkin ini surat untukmu. Jika nanti kamu buka dan surat ini untuk bapak, kamu taruh di kamar bapak saja yaa. Bapak mau ke masjid dulu. Sebentar lagi solat Isya. Kamu mandi dulu, solat, terus makan"
"Baik, Pak."
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"

Aku segera menutup pintu dan ke kamar untuk mengambil handuk. Ku biarkan surat itu di atas meja belajarku. Aku tak suka pada pengirim surat yang tak menuliskan namanya di amplop. Dan itulah alasanku untuk tak segera membacanya.
***
 Apa kabar Heksa? Kuharap kamu masih ingat tanggal hari ini. 20 Oktober. Aku mengenalmu pada hari itu. Kita bertemu tepat empat tahun yang lalu. Aku berusaha mengenalmu dengan baik, heksa. Aku berusaha memahami dan mengertikanmu. Aku pergi bukan tanpa alasan. Suratku yang kemarin biarlah menjadi curahan hatiku saja. Dan untuk suratku yang sedang kau baca ini, akan kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Aku harap kau tidak menjadi pembaca prematur.
Heksa, enam bulan yang lalu ayahku meninggal. Sebelum meninggal, beliau telah menitipkan wasiat kepada keluargaku tentangku. Aku telah dijodohkan dengan seorang pemuda yang sebbelumnya tak kukenal. Bukan aku meninggalkanmu tanpa alasan, Sa. Aku bingung harus berbuat apa saat itu. Aku hanya menuruti apa kata keluargaku karena aku berpikir itulah yang terbaik. Namun bukan berarti aku tak mencintaimu lagi. Hatiku seutuhnya masih milikmu. Hingga sekarangpun perasaanku tak berkurang sedikitpun untukmu. Jangan benci aku, Heksa. Aku mohon padamu, temui aku di tempat biasa, hari kamis, 23 Oktober 2014. 

Salam Rindu
***


Hepta, andai kau tau. Cinta yang kumiliki untukmu kini telah melebur bagaikan debu dipadang pasir. Debu itu akan diinjak-injak oleh para pejalan kaki atau bahkan unta-unta yang lewat kesana-kemari. Jangankan sebuah cinta, rasa rindupun kini telah hilang dari dalam hatiku. Terlalu sakit jika ku mengingatmu. 
Kau tau? Aku telah lama mencarimu, hingga kaki ini tak sanggup lagi untuk berjalan dan berlari mengejarmu.  Aku lelah, Hepta. Sepenuh hati aku menjaga dan melindungimu namun kau balas setiap penjagaan dan perlindunganku dengan sebutir cincin dari orang lain. Ingatkah engkau? Satu tahun yang lalu, saat aku tak inginkanmu beranjak sedikitpun dari sisiku, saat itulah aku berencana bersama dengan bapakku untuk melamarmu di tahun ini. Namun ternyata Tuhan tak meridhoi semua rencanaku. Aku kecewa pada Tuhan. Kau telah diambil oleh orang lain yang akupun tak pernah tahu akan adanya tokoh figuran lain dalam skenario kisah kita. Sang sutradara kehidupan mengambilmu dari sisiku. 
Ya. Aku sakit. Namun aku tau Tuhan akan memberikan jalan jang lebih indah dari keputusan-Nya yang Ia berikan padaku. Aku akan sabar menerima ini, Hepta. Dan aku mohon kau tak usah lagi mengirimkan surat padaku seperti akhir-akhir ini. Yakinlah pada Tuhan. Apapun takdirnya itulah yang terbaik. Lakukan apa yang harus kau lakukan. Berikan yang terbaik untuk hidupmu jangan sia-siakan orang yang telah menjagamu lebih dari penjagaanku. Patuhilah nasihat orangtuamu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakanmu. Aku harap kamu bisa menerima calon yang telah orangtuamu pilihkan. Jangan hiraukan aku lagi. Maafkan aku sempat membencimu. Jadilah istri yang baik untuk suamimu. Insya allah aku akan menghadiri Walimatul Ursy' yang akan kau selenggarakan minggu depan. Selamat menempuh hidup baru, kawan. Kau tetap menjadi sahabatku. Jangan pikirkan bagaimana hatiku. Pikirkanlah bagaimana sakitnya hati suamimu jika ia tau bahwa kau tak pernah mencintainya. Berikan ia cinta terindah yang kau miliki. Hepta, semoga Allah menjaga dan melindungi keluargamu. Amin
Salam Maaf
Heksa
 
Inilah surat balasan yang kutuliskan dalam selembar kertas putih nan putih. Aku memang sakit hati padanya, namun aku tau Tuhan akan marah padaku jika aku melanggar takdir yag telah Ia tuliskan. Aku akan sabar dengan semua ini. Jika ia memang bukan jodohku, apa boleh buat. Pasti Allah akan mengirimkan bidadari terindah untuk menemaniku kelak. Kitab Lauh Mahfudz akan membawaku pada pendamping hidupku. Aku berharap Allah senantiasa membimbingku menuju jalan yang benar-benar lurus. 
Kubaca ulang surat yang tlah kutulis sebelum kumasukan kedalam amplop. Selepas itu akan kukirimkan ke tungkang pos di kecamatan untuk mengirimkannya pada Hepta. Kutuliskan satu kalimat terakhirku dibalik surat, "Orangtua tak akan menuntun anaknya pada pilihan yang salah."
***
Aku tak bisa melihat dengan jelas, mataku silau melihat cahaya terang diluar jendela kamar. Malam itu aku tak tahu apa yang terjadi diluar. Seperti banyak orang yang sedang memperebutkan sesuatu. Ramai, ricuh, darah berceceran dimana-mana. Aku lihat ada beberapa orang yang tubuhnya tak lagi sempurna. Beberapa diantara mereka kulitnya terkikis. Wajahpun tak terlihat seperti wajah karena banyaknya luka. Entah apa yang terjadi disana. Aku tak berani untuk melihat dari dekat. Jumlah mereka lebih dar 500 orang. Cambuk mencambuk adalah hal yang mereka lakukan. Satu golongan menggunakan jubah berwarna putih dan golongan lainnya menggunakan jubah hitam. Diantara mereka adapula yang menggunakan unta. Alat-alat yang mereka gunakan untuk saling memerangi juga bervariasi. Tombak, panah, dan alat-alat lain yang tak kuketahui namanya. Bentukya agak aneh. Alat itu hanya dipegang oleh satu orang, yakni pemimpin yang mengndalikan peerangan diantara kedua golongan tersebut. 
Tubuhku keluar banyak keringat, yang aku raskan adalah kepanikan luar biasa, kepalaku berat, otakku serasa panas melihat kejadian yang mengerikan.
"Heksaaaa.."
Suara itu menyadarkanku. Dalam nafas yang terengah-engah, aku hanya bisa mengucap syukur karena itu adalah mimpi. Ku ambil segelas air putih di atas meja belajar. Aku berusaha menenangkan pikiranku dan mengatur nafas. Aku berusaha menghilangkan kepanikan itu dengan banyak mengucap Istigfar.
"Heksaaa.."
Seseorang memanggilku dibalik pintu kamar.
"Iya, sebentar"
Aku segera membukakan pintu.
"Kau?", kataku terpejat melihat seseorang datang ke rumahku sepagi ini. "untuk apa kau kesini? Masih juga jam lima pagi?" lanjutku
"Jogging lah. Yuk, ke temapat yang kemarin lagi. Aku bosen di rumah."
"Aku belum siap-siap. Duluan saja lah. Lagi pula aku ada sedikit kerjaan hari ini. Deadline-nya besok pagi."
"kerjaan apa? Bukannya dari kemarin kamu nyantai-nyantai saja?"
"Ahh, kau tak perlu tau. Masalah pribadi."
"Sejak kapan masalah pribadi ada deadline-nya?"
"Sejak saat ini.."
"Ya sudah lah, Aku juga disini.."
Aku dan nano duduk di balkon kamarku. Sambil memandang rintik hujan yang baru turun membasahi bumi, aku ceritakan beberapa hal yang menimpaku beberapa hari ini mulai dari kisah pribadi dan surat. Nano adalah sahabatku. Kami sudah seperti saudara kakak beradik. Mimpi yang semalampun aku ceritakan. Mimpi yang aneh dan menakutkan. Nano berpikir kalau mimpi itu hanyalah bunga tidur namun aku merasa itu bukan hanya bunga tidur belaka. Aku merasa itu adalah teguran dari Allah terhadapku. Allah bermaksud memberikanku hidayah agar aku bisa lebih dekat dengan-Nya. Aku adalah mantan pencopet, pemabuk, bahkan sempat menghisap barang-barang terlarang seperti narkoba dan sabu. Orang-orang yang tau masa laluku hanya Bapak, Hepta dan Nano. Mereka adalah orang terdekatku. Bapak yang membuatku menjadi pribadi yang lebih baik seperti sekarang. Kasih sayang Hepta yang membuatku berpikir untuk berhenti melakukan perbuatan itu, dan membuatku berpikir untuk ikut menjauh juga dari hidupnya dikarenakan hidupku yang tak berbatas. Nano, sahabat yang senantiasa mengajakku untuk lebih dekat pada Sang Khalik dengan ketakwaannya dalam beribadah.
Sekarang aku lebih positif untuk menjalani hidup. Jikapun Hepta akan menikah dengan orang yang ternyata adalah kakak kandung Nano dan ibu dari Tri, itulah takdir Tuhan. Aku yakin akan ada banyak cerita yang belum Tuhan putar untuk kulewati. Karena janji Tuhan pasti akan sampai, walau kapanpun waktunya tiba.
"Thanks a lot, My Brother"
"Youre welcome"
Itulah percakapan terakhir kami sebelum akhirnya kami menyantap sarapan Mbok Darmini.
***
Ku biarkan Sandiwara Pelangi ini kuakhiri dengan senyuman. Pelangi itu adalah aku yang berusaha meninggalkan hujan. Namun aku salah. Karena hujan adalah kekuatanku untuk hadir dimuka bumi; dilihat oleh banyak mata dan berusaha untuk tetap tinggal. Sandiwara inilah yang aku tampakkan pada mereka orang-orang yang kucintai. Sandiwara kekuatan, sandiwara ketegaran dan sandiwara kebahagiaan. Bersama dengan setiap kenangan indah itu kutulis dalam sebuah diary Sandiwara Pelangi.

Created By Tatimatus Solihah
Ciamis, 111116


Tidak ada komentar:

Posting Komentar